10 Dzulhijah 1432 H seluruh umat Islam di seantero dunia memperingati hari raya Idul Adha atau hari raya qurban. Sehari sebelumnya, 9 Dzulhijah 1432 H, jutaan umat Islam yang menunaikan ibadah haji wukuf di Arafah, berkumpul di Arafah dengan memakai ihram putih sebagai lambang kesetaraan derajat manusia di sisi Allah, tidak ada keistimewaan antar satu bangsa dengan bangsa yang lainnya kecuali takwa kepada Allah. Dan Hari ini juga kita kembali di ingatkan kepada kisah seorang kholilulloh kekasih Allah SWT, nabi Ibrahim as yang Allah uji kecintaannya, antara cintanya kepada keluarga ( nabi Ismail as dan Siti hajar ) dan cintanya kepada Allah. Alhamdulillah cintanya kepada Allah melebihi dari segalanya, hal ini membuat kita bahkan nabi Muhammad SAW harus mengambil pelajaran darinya
Pesan Pertama: Berbaik sangka kepada Allah SWT
Di dalam kitab; Anbiyaa Allah ( Nabi – Nabi Allah) di karang oleh Ahmad Bahjat beliau menjelaskan.
Pada suatu hari, Ibrahim as terbangun dari tidurnya. Tiba-tiba dia memerintahkan kepada istrinya, Siti Hajar, untuk mempersiapkan perjalanan dengan membawa bayinya. Perempuan itu segera berkemas untuk melakukan perjalanan yang panjang. Pada saat itu nabi Ismail masih bayi dan belum disapih.
Ibrahim as melangkahkan kaki menyusuri bumi yang penuh dengan pepohonan dan rerumputan, sampai akhirnya tiba di padang sahara. Beliau terus berjalan hingga mencapai pegunungan, kemudian masuk ke daerah jazirah Arab. Ibrahim menuju ke sebuah lembah yang tidak di tumbuhi tanaman, tidak ada buah-buahan, tidak ada pepohonan, tidak ada makanan, tidak ada minuman, tempat itu menunjukkan tidak ada kehidupan di dalamnya.
Di tempat itu beliau turun dari punggung hewan tunggangannya, kemudian menurunkan istri dan anaknya. Setelah itu tanpa berkata-kata beliau meninggalkan istri dan anaknya di sana. Mereka berdua hanya dibekali sekantung makanan dan sedikit air yang tidak cukup untuk dua hari. Setelah melihat kiri dan kanan beliau melangkah meninggalkan tempat itu.
Tentu saja Siti hajar terperangah diperlakukan demikian, dia membuntuti suaminya dari belakang sambil bertanya“Ibrahim hendak pergi ke manakah engkau?” Apakah engkau akan meninggalkan kami di lembah yang tidak ada sesuatu apapun ini?
Ibrahim as tidak menjawab pertanyaan istrinya. Beliau terus saja berjalan, Siti hajar kembali mengulangi pertanyaannya, tetapi Ibrahim as tetap membisu. Akhirnya Siti hajar paham bahwa suaminya pergi bukan karena kemauannya sendiri. Dia mengerti bahwa Allah memerintahkan suaminya untuk pergi. Maka kemudian dia bertanya,“apakah Allah yang memerintahkanmu untuk pergi meninggalkan kami? Ibrahim menjawab, “benar“. Kemudian istri yang shalihah dan beriman itu ,” kami tidak akan tersia-siakan selagi Allah bersama kami. Dia-lah yang telah memerintahkan engkau pergi. Kemudian Ibrahim terus berjalan meninggalkan mereka
subhanallah,,, dari kisah pertama ini, bagai mana Nabi Ibrahim as tidak tergoyahkan imannya, beliau mantap meninggalkan keluarga yang amat sangat ia cintai dan analk laki2 yang masih dalam buaian ibunya, di tanah tandus dan gersang , karna beliau yakin adanya Allah sang maha melindungi, dan lebih memilih menjalankan perintahNYA untuk meninggalkan keluarga karna akan ada hikmah yang besar dibalik itu semua, dan bagai mana sang istri siti Hajar rhido akan ketetapan Allah melalui suaminya, ia rela di tinggalkan dengan kondisi yang sulit di fahami oleh nalar bagaimana dapat bertahan di gurun dengan kondisi seperti itu,, inilah pelajaran pertama dari keimanan Nabi beserta istrinya untuk akhirnya sampai pada kita yaitu berbaik sangka kepada Allah,, bagaimana kekuatan positif dari fikiran yang selalu positif terhadap realitas hidup yang hanya di sandarkan pada sang Maha pencipta
Pelajaran kedua: Mencari rezeki yang halal
Setelah Ibrahim as meninggalkan istri dan anaknya untuk kembali meneruskan perjuangannya berdakwah kepada Allah. Siti hajar menyusui Ismail sementara dia sendiri mulai merasa kehausan. Panas matahari saat itu menyengat sehingga terasa begitu mengeringkan tenggorokan. Setelah dua hari, air yang di bawah habis, air susunya pun kering. Siti hajar dan Ismail mulai kehausan. Pada waktu yang bersamaan, makanan pun habis, kegelisahan dan kekhawatiran membayangi Siti hajar.
Ismail mulai menangis karena kehausan. Kemudian sang ibu meninggalkannya sendirian untuk mencari air. Dengan berlari – lari kecil dia sampai di kaki bukit Shafa. Kemudian dia naik ke atas bukit itu. Di taruhnya kedua telapak tangannya di kening untuk melindungi pandangan matanya dari sinar matahari, kemudian dia menengok ke sana kemari, mencari sumur, manusia, kafilah atau berita. Namun tidak ada sesuatu pun yang tertangkap pandangan matanya. Maka dia bergegas turun dari bukit Shafa dan berlari – lari kecil sampai di bukit Marwa. Dia naik ke atas bukit itu, barangkali dari sana dia melihat seseorang, tetapi tidak ada seorang pun.
Hajar turun dari bukit Marwa untuk menengok bayinya. Dia mendapati Ismail terus menangis . tampaknya sang bayi benar-benar kehausan. Melihat anaknya seperti itu, dengan bingung dia kembali ke bukit Shafa dan naik ke atasnya. Kemudian dia ke bukit Marwa dan naik ke atasnya, Siti hajar bolak – balik antara dua bukit, Shafa dan Marwa, sebanyak tujuh kali.
Ada rahasia yang jarang di kupas dari kejadian ini..
Yaitu kesungguhan Siti hajar dalam mencari air di keluarkan segala tenaganya bolak balik dari Shafa dan Marwa, walaupun bolak balik dari Shafa dan Marwa belum mendapatkan air dia terus berusaha. Walaupun akhirnya air itu ada di dekat anaknya sendiri. Ini memberikan pelajaran kepada kita untuk bersungguh-sungguh dalam menjemput rezeki dengan mengeluarkan segala kemampuan yang kita miliki karena Kita di perintahkan bukan Cuma melihat hasil tapi juga usaha dan tenaga yang kita keluarkan, Rasulullah SAW sangat mencintai orang-orang yang bekerja keras.
Diriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah berjumpa dengan Sa’ad bin Mu’adz Al-Anshari. Ketika itu Rasulullah melihat tangan Sa’ad yang melepuh, kulitnya gosong kehitaman seperti lama terpanggang matahari.
Rasulullah bertanya, ‘Kenapa tanganmu ?’
Sa’ad menjawab, ‘ Wahai Rasulullah, tanganku seperti ini karena aku mengolah tanah dengan cangkul itu untuk mencari nafkah keluarga yang menjadi tanggunganku,’
Seketika itu, Rasulullah mengambil tangan Sa’ad dan menciumnya seraya berkata,’Inilah tangan yang tidak pernah tersentuh api neraka,’
Hikmah dari kisah ini yaitu terdapat tanggung jawab seorang Sa’ad bin Mu’adz Al-Anshari dalam menafkahi anak dan istrinya melalui rizki yang halal. Tangan yang semata-mata berada di jalan Allah SWT dengan penuh keikhlasan dalam menjalankan Amanah.
‘Sesungguhnya Allah mencintai seorang mukmin yang giat bekerja.’(HR. Thabrani).
Rasulullah SAW bersabda,“Tidaklah sekali-kali seseorang itu makan makanan lebih baik daripada apa yang dimakannya dari hasil jerih payahnya sendiri. Dan Nabi Daud AS itu makan dari hasil jerih payahnya sendiri.” (HR. Bukhari).
Bahkan Allah SWT berfirman:
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ﴿١٠﴾
“Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (QS. Al-Jumuah: 10)
ayat ini memotivasi kita untuk bekerja keras, setelah melaksanakan shalat karena dengan bekerja kita akan mendapatkan rezeki yang halal.
Pelajaran yang ke tiga: Berkorban untuk Allah SWT
Ketika Ismail bertambah besar, hati Ibrahim as tertambat kuat kepada putranya. Tidak mengherankan karena Ismail hadir di kala usia Nabi Ibrahim sudah tua. Itulah sebabnya beliau sangat mencintainya. Namun Allah hendak menguji kecintaan Ibrahim as dengan ujian yang besar disebabkan cintanya itu.
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَىٰ فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِي إِن شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ﴿١٠٢﴾
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku Termasuk orang-orang yang sabar”. (QS. Ash Shaaffat: 102 )
Renungkanlah bentuk ujian yang telah Allah berikan kepada beliau. Bagaimana kira-kira perasaan Ibrahim as pada saat itu? Pergulatan seperti apa yang berkecamuk di dalam batinnya? Salah besar jika ada yang mengira bahwa tidak ada pergulatan pada diri Ibrahim as. Tidak mungkin ujian sebesar ini terbebas dari pergulatan batin. Ibrahim berpikir,” mengapa? Ibrahim membuang jauh-jauh pikiran itu. Bukan Ibrahim namanya jikalau beliau mempertanyakan kepada Allah“mengapa” atau“karena apa“karena orang yang mencintai tidak akan bertanya mengapa? Ibrahim hanya berpikir tentang putranya, apa yang harus beliau katakana kepada anak itu, saat beliau hendak membaringkannya di atas tanah untuk disembelih?
Ibrahim mengambil jalan yang paling baik, yaitu berkata yang jujur dan lemah lembut kepada putranya, ketimbang menyembelihnya secara paksa.
Lihatlah kepasrahan dan pengorbanan Ismail dan ayahnya Ibrahim mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan cinta Allah. Mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan kasih sayang Allah. Walaupun yang di korbankan adalah diri Ismail.
Sadarkah kita, bahwa saat ini kita sedang di ajari oleh seorang anak dan ayahnya tentang makna pengorbanan kepada Allah dalam segala hal di kehidupan ini,
Kata kurban dalam bahasa Arab berarti mendekatkan diri. Dalam fiqih Islam dikenal dengan istilah udh-hiyah, sebagian ulama mengistilahkannya an-nahr sebagaimana yang dimaksud dalam QS Al-Kautsar (108): 2,
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah“
Akan tetapi, pengertian korban bukan sekadar menyembelih binatang korban dan dagingnya kemudian disedekahkan kepada fakir miskin. Akan tetapi, secara filosofis, makna korban meliputi aspek yang lebih luas.
Dalam konteks sejarah, dimana umat Islam menghadapi berbagai cobaan, makna pengorbanan amat luas dan mendalam. Sejarah para nabi, misalnya Nabi Muhammad dan para sahabat yang berjuang menegakkan Islam di muka bumi ini memerlukan pengorbanan. Sikap Nabi dan para sahabat itu ternyata harus dibayar dengan pengorbanan yang teramat berat yang diderita oleh Umat Islam di Mekah ketika itu. Umat Islam disiksa, ditindas, dan sederet tindakan keji lainnya dari kaum kafir Quraisy. Rasulullah pernah ditimpuki dengan batu oleh penduduk Thaif, dianiaya oleh Ibnu Muith, ketika leher beliau dicekik dengan usus onta, Abu Lahab dan Abu Jahal memperlakukan beliau dengan kasar dan kejam. Para sahabat seperti Bilal ditindih dengan batu besar yang panas di tengah sengatan terik matahari siang, Yasir dibantai, dan seorang ibu yang bernama Sumayyah, ditusuk kemaluan beliau dengan sebatang tombak.
Tak hanya itu, umat Islam di Mekah ketika itu juga diboikot untuk tidak mengadakan transaksi dagang. Akibatnya, bagaimana lapar dan menderitanya keluarga Rasulullah SAW. saat-saat diboikot oleh musyrikin Quraisy, hingga beliau sekeluarga terpaksa memakan kulit kayu, daun-daun kering bahkan kulit-kulit sepatu bekas.
Pelajaran keempat adalah Mendidik Keluarga
Nabi Ismail tidak akan menjadi anak yang penyabar jika tidak mendapat pendidikan dari ibunya dan Siti hajar tidak akan menjadi seorang yang penyabar jika tidak di didik oleh nabi Ibrahim as. Dan nabi Ibrahim as tidak akan dapat sabar jika tidak didikan dari Allah SWT melalui wahyuNya.
Seorang anak dalam perkembangannya membutuhkan proses yang panjang, maka peran orang tua dalam membentuk perilaku yang berakhlaq mulia sangat dibutuhkan, perhatian sempurna kepada anak semenjak dari masa mengandung, melahirkan hingga sampai masa Kewajiban ini diberikan di pundak orang tua oleh agama dan hukum masyarakat. Karena seseorang yang tidak mau memperhatikan pendidikan anak dianggap orang yang mengkhianati amanah Allah. Sebagian ahli ilmu mengatakan bahwa Allah Swt. Pada hari kiamat nanti akan meminta pertanggungjawaban setiap orang tua tentang perlakuan mereka kepada anaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar