Pengantin-Pengantin Al-Quds
17/5/2012 | 26 Jumada al-Thanni 1433 H | Hits: 1.202
Oleh: Usman Alfarisi
Judul Buku : Pengantin-Pengantin Al Quds
Penulis : Sakti Wibowo dkk
Cetakan : I, 2011
Penerbit : Proumedia – Yogyakarta
Tebal : 182 Halaman
ISBN : 978-602-8-941-020
Pengantin tanpa Malam Pertama
dakwatuna.com – Lebih
dari 60 tahun, Israel (illegal) resmi menjajah Palestina, negeri suci
warisan para nabi. Tanah wakaf kaum muslimin yang menjadi saksi
peristiwa Isra’ Mi’raj itu, hingga kini masih saja dikangkangi oleh
bangsa kera tak berperikemanusiaan itu. Tak tanggung-tanggung., Yahudi
yang berwatak Zionis itu seakan berkehendak membumihanguskan Palestina
dan warganya, tanpa ampun.
Mereka tidak pandang bulu dalam membasmi
warga Palestina. Bukan hanya militan, melainkan warga sipil yang tak
berdosa sekalipun ikut dijadikan sasaran. Mulai dari anak-anak, ibu
mengandung, dewasa, hingga orang yang sudah jompo sekalipun, semuanya
disamakan. Asal labelnya Palestina, maka perlakuannya sama: Bunuh!
Dunia
internasional yang dikomandoi oleh Amerika pun diam. Dalih Hak Asasi
Manusia yang selama ini mereka kumandangkan nyaris tak bergema. Mereka
bisu. Tidak berkutik. Bahkan mereka didapati membantu Israel dalam
pembantaian ini. Sungguh biadab! Bahkan, Sidang Umum PBB yang sempat
disinyalir bakal menjadi peluang untuk merdekanya Palestina ini, NIHIL!
Hingga detik ini, Palestina yang kita cintai masih merana, dijajah oleh
iblis-iblis berwajah manusia.
Kondisi memprihatinkan inilah yang diangkat oleh 20 Cerpenis dari seluruh Indonesia, dalam sebuah buku Barokah bertajuk Pengantin-Pengantin Al Quds.
Buku setebal 182 halaman ini mengajak kita untuk mempelajari sejarah
konflik Palestina – Israel. Keberagaman penulis dari berbagai latar
pendidikan dan daerah yang berbeda membuat buku ini semakin sempurna.
Sajian renyahnya sangat mudah dinikmati, sekalipun ketika kita
membacanya sembari menyeruput kopi hangat di pagi hari.
Buku ini memuat 19 cerpen dan 1 puisi pamungkas berjudul Cemburu pada Palestina. Setelah menikmati sajian penuh gizi di dalamnya, sangatlah layak jika kemudian kita benar-benar mencemburui Palestina.
Di
negeri kita, banyak sekali pertumpahan darah. Mulai dari tawuran
pelajar, perkelahian suku, perang suporter sepak bola, dan seterusnya.
Bandingkan dengan Palestina? Di sana semua warga merindu mati. Bukan
sekedar mati, melainkan mati dengan nilai tertinggi sebagai Pahlawan.
Mereka menumpahkan darah untuk tanah air, kehormatan dan agama mereka.
Sangat mulia, bukan?
Dalam hal lain, kita disajikan sebuah fenomena memiriskan, Indonesia yang kita cintai dipenuhi dengan raport merah
seputar hubungan seksual. Hamil sebelum nikah, pergaulan bebas yang
berujung pada pengguguran janin, perceraian hingga aneka macam
perselingkuhan dengan berbagai macam jenisnya. Sementara di negeri yang
pernah dimerdekakan oleh Umar bin Khaththab itu, menikah merupakan
sebuah prestasi suci. Bahkan, kerap kali kita jumpai pernikahan tanpa malam pertama. Setelah akad, suami dan istri harus meregang nyawa lantaran bombardir dan serangan mendadak dari Zionis laknatullah. Dan mereka pun, insya Allah berbulan madu di surgaNya.
Simak
saja penuturan salah satu penulis, Neng Lisojung, dalam buku ini,
“Wanita berhijab itu memelukku. Dia akhirnya bercerita, menyebut satu
nama: Muhammad Asad, seorang pejuang perlawanan Palestina dari
Bataliyon al Quds, sayap militer Jihad Islami. Hari ini harusnya hari
bahagianya bersama Asad. Kemarin pagi mereka baru saja menikah. Tapi
menjelang persuaan malam pertama, agen-agen Shin Bet menyeruak masuk
mendobrak jendela. Dan terjadilah malam duka. Keluarganya dibantai
terlebih dahulu, sebelum dirinya diperkosa oleh seorang anggota Shin
Bet terlaknat itu di hadapan suaminya. Setelah penistaan itu, Asad
ditembaki namun jasadnya dibawa entah ke mana.”
Penulis yang kini
tinggal di Bekasi ini pun melanjutkan kisahnya, “Hujan air mata pun tak
terbendung lagi. Inilah puncak saat sesak ditumpahkan. Isakan kepedihan
dicurahkan. Larut dalam suasana yang begitu amat menyesakkan nafas.
Bukan aku dan wanita berhijab hitam ini saja yang mengalami kejadian
pahit itu. Mungkin sudah puluhan atau ratusan kali terjadi pengantin
yang menangisi kematian suaminya.”
Memilukan bukan? Apa yang kita
rasakan jika hal itu terjadi pada keluarga kita? Ibu kita? Saudara
kita? Atau, anak kandung kita? Dan, masihkah kita berkata lantang,
“Mengapa harus repot mengurus Palestina? Sementara negeri ini tengah
berada dalam keterpurukan tak berujung?” Naïf jika itu yang terjadi
pada kita yang mengaku sebagai makhluk bernama manusia.
Akhirnya,
buku ini sangat layak untuk dijadikan alternatif bacaan penggugah
semangat perjuangan. Di samping cerpen-cerpen yang sarat dengan muatan
perjuangan membela tanah air dan agama, royalti dari penjualan buku ini
sepenuhnya akan disumbangkan ke Palestina melalui Sahabat Al Aqsha. Sehingga kita bisa mendapatkan dua keutamaan ketika membeli dan membaca buku ini: ilmu dan pahala beramal.
Semoga,
negeri ini tak hanya cemburu, melainkan segera bangkit dengan mencontoh
semangat seluruh warga Palestina yang tak pernah gentar dengan peluru
dan bom, demi mempertahankan bangsa dan juga agama. Semoga.
Topik: Pejuang Palestina
Tidak ada komentar:
Posting Komentar